Analisis Hadits Tentang Anjuran Memakai Penutup Ketika Bersenggama



A. Pendahuluan

Banyak beredar di kalangan masyarakat umum bahwa ketika seseorang melakukan hubungan intim antara suami istri harus memakai sarung atau penutup (tidak boleh telanjang bulat). Pernah suatu saat salah seorang teman yang sekarang menjadi seorang guru di salah satu SMK di Semarang bertanya kepada penulis: “Apakah ketika sepasang suami istri melakukan hubungan intim dalam keadaan telanjang bulat akan menyebabkan anaknya kelak tidak punya malu?” 

Pertanyaan semacam ini muncul karena adanya asumsi bahwa ketika seseorang melakukan hubungan intim harus menggunakan penutup. Asumsi semacam ini muncul dari pemahaman sebuah Hadits “Apabila salah seorang di antara kalian menjima’ istrinya, maka hendaklah memakai penutup (sarung).”

Oleh karena beberapa hal di atas, maka penulis merasa terpanggil untuk mendudukkan masalah yang sebenarnya dan manganalisis Hadits yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalan Sunan Ibnu Majah dengan nomor indeks 1921. 

B. Teks Hadits Lengkap Dengan Sanad dan Terjemahannya

1921- حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهْبٍ الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا الأَحْوَصُ بْنُ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، وَرَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ ، وَعَبْدِ الأَعْلَى بْنُ عَدِيٍّ ، عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ. (رواه ابن ماجة)

“(Ibnu Majah berkata:) Ishaq bin Wahb Al Wasithi bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Ahwash bin Hakim bercerita kepada kami, dari ayahnya, Rasyid bin Sa’d dan Abdul A’la bin ‘Addi, dari ‘Uthbah bin ‘Abd As Sulami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menjima’ istrinya, maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti telanjangnya dua keledai.” [H.R. Ibnu Majah].

C. Bagan Sanad


D. Biografi para periwayat

1. Ibnu Majah
Nama: Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al Hafidh. 
Lahir: 209 H. 
Wafat: 273, menurut pendapat yang lain 275 H.
Guru: diantaranya adalah Ishaq bin Wahb Al Wasithi. 

2. Ishaq bin Wahb Al Wasithi
Nama: Ishaq bin Wahb bin Ziyad Al ‘Allaf Abu Ya’qub Al Wasithi
Lahir: tidak diketahui
Wafat: tidak diketahui, namun berdasarkan penuturan Abu Hatim, ia hidup pada tahun 255 H.
Guru: diantaranya adalah Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani
Murid: di antaranya adalah Ibnu Majah. 

3. Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani
Nama: Al Walid bin Al Qasim bin Al Walid Al Hamdani 
Lahir: tidak diketahui
Wafat: 203 H. 
Guru: di antaranya adalah Al Ahwash bin Hakim
Murid: di antaranya adalah Ishaq bin Wahb bin Ziyad Al ‘Allaf Abu Ya’qub Al Wasithi 

4. Al Ahwash bin Hakim
Nama: Ahwash bin Hakim bin ‘Umair, ia adalah ‘Amr bin Al Aswad Al ‘Ansi
Lahir: tidak diketahui
Wafat: tidak diketahaui, namun Khalifah bin Khayyath menyebutkannya dalam thabaqat ke empat dari ahli Syam. Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Al Ahwash, ia berkata: Aku melihat Anas bin Malik thawaf antara Shafa dan Marwa di atas keledai. 
Guru: di antara gurunya adalah ayahnya sendiri Al Hakim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad dan ‘Abdul A’la bin ‘Addi
Murid: di antaranya adalah Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani

5. a. Hakim bin ‘Umair
Nama: Hakim bin ‘Umair bin Al Ahwash Al ‘Ansi, ayah Al Ahwash bin Hakim
Lahir: tidak diketahui
Wafat: tidak diketahui
Guru: di antaranya adalah ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami 
Murid: diantaranya adalah anaknya sendiri, Al Ahwash bin Hakim
b. Rasyid bin Sa’ad
Nama: Rasyid bin Sa’ad Al Muqri’i
Lahir: tidak diketahui 
Wafat: 108 H.
Guru: di antaranya adalah ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami
Murid: di antaranya adalah Ahwash bin Hakim bin ‘Umair
c. ‘Abdul A’la bin ‘Addi
Nama: ‘Abdul A’la bin ‘Addi Al Bahrani Al Himashi
Lahir: tidak diketahui
Wafat: 104 H. 
Guru: di antaranya adalah ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami
Murid: di antaranya adalah Ahwash bin Hakim bin ‘Umair 

6. Utbah bin ‘Abd As Sulami
Nama: Utbah bin ‘Abd As Sulami, mempunyai kuniyah Abu Al Walid
Lahir: tidak diketahui
Wafat: tahun 87 H pada akhir pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan. Beliau berusia 94 tahun.
Guru: Rasulullah SAW
Murid: di antaranya adalah Hakim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad ‘Abdul A’la bin ‘Addi.

E. Uji Ketsiqahan Para Periwayat Hadits

No. Nama Perawi Keterangan (Jarh wa Ta’dil)

1. Ibnu Majah  Menurut Al Mizi yang menukil pendapat Al Hafidz Abu Ya’la, Ibnu Majah adalah seorang yang tsiqat kabir, muttafaq ‘alaih dan muhtaj bih. 
 Menurut Adz Dzahabi, Ibnu Majah adalah seorang Hafidz, Naqid (kritikus) dan luas keilmuannya. Adz Dzahabi juga menukil komentar Al Hafidz Abu Ya’la Al Khalili sebagaimana yang dinukil oleh Al Mizi. 
 Al Hafidh Ibnu Hajar juga menukil pernyataan Al Hafidh Abu Ya’la Al Kholili dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib. 

2. Ishaq bin Wahb Al Wasithi
 Al Mizi mengutip pernyataan Abu Hatim, bahwa Ishaq bin Wahb Al Wasithi adalah shaduq. 
 Penulis tidak menemukan komentar Adz Dzahabi tentang perawi ini setelah melakukan pencarian pada tiga kitab karya Adz Dzahabi, yaitu Siyar Al A’lam An Nubala’, Al Kasyif dan Mizan Al I’tidal fi Naqd Ar Rijal.
 Ibnu Hajar juga menukil pernyataan Abu Hatim, bahwa Ishaq bin Wahb Al Wasithi adalah shaduq, kemudian ia mengatakan bahwa Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya Ats Tsiqaat. 

3. Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani
 Al Mizi menampilkan beberapa komentar para ulama’. Ia juga menampilkan komentar Ahmad bin Hanbal yang dinukil oleh Abu Ja’far bin Junaid Ad Daqqaq yang menilai tsiqat. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata, dari Yahya bin Ma’in berkata: ia adalah dlo’iful hadits (Haditsnya dlo’if). Abu Ahmad bin ‘Addi berkata: jika ia meriwayatkan dari perawi yang tsiqat dan diriwayatkan oleh perawi yang tsiqat, maka la ba’sa bih (tidak masalah). Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya Ats Tsiqat. 
 Adz Dzahabi menukil beberapa komentar para ulama’ tantang Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani dalam kitabnya Siyar Al A’lam An Nubala’ sebagai berikut: Ibnu Al Junaid Ad Daqqaq berkata: Ahmad bin Hanbal ditanya tentang Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani, maka Ahmad bin Hanbal berkata: ia adalah tsiqat, kami menulis Hadits darinya. Abu Ahmad bin ‘Addi berkata: Jika ia meriwayatkan dari perawi yang tsiqat, maka tidak masalah (la ba’sa bih). Sementara Yahya bin Ma’in dari riwayat Ahmad bin Zuhair menilai Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani sebagai rawi yang dloif. 
 Komentar ibnu Hajar dalam kitab Tahdzibnya sama persis dengan komentar Al Mizi. 

4. Al Ahwash bin Hakiim
 Al Mizi menampilkan beberapa komentar para ulama’ tentang Al Ahwash, yaitu: ‘Ali Al Madini menilai shalih, pada tempat yang lain ia mengatakan tsiqat, dan pada riwayat yang lain ia mengatakan tidak ditulis Haditsnya. Ishaq bin Manshur, Ibrahim ‘Abdillah bin Junaid, Mu’awiyah bin Shalih dan Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, dari Yahya bin Ma’in menilai laisa bisy syai’ (tidak ada apa-apanya). Ahmad bin ‘Abdullah Al ‘Ajli mengatakan la ba’tsa bih (tidak apa-apa). Ya’qub bin Sufyan berkata: Haditsnya tidak kuat. Al Jauzajani berkata: Tidak kuat dalam Hadits. An Nasa’i menilainya sebagai rawi yang dlo’if. Dalam kesempatan yang lain An Nasa’i berkata: Tidak tsiqat. ‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Al Ahwash laisa biqawiy (tidak kuat), munkar al hadits (Haditsnya munkar). Ibnu ‘Uyainah mendahulukan Al Ahwash dari pada Tsaur dalam Hadits. Ibnu ‘Uyainah telah salah dalam mendahulukan Al Ahwash atas Tsaur. Tsaur shaduq, sementara Al Ahwash munkar al hadits. Al Hafidh Abu Al Qasim berkata: Telah sampai padaku bahwa Muhammad bin ‘Auf ditanya tentang Al Ahwash, maka ia berkata: Dlo’if al hadits (lemah Haditsnya). Ad Daruquthni berkata: Haditsnya dianggap ketika yang meriwayatkan darinya adalah perawi yang tsiqat. 
 Adz Dzahabi mengutip beberapa pendapat para imam tentang Al Ahwash: Ibnu Ma’in berkata: la syai’a (tidak ada apa-apanya). An Nasa’i berkata: dlo’if. Ibnu Al Madini berkata: laisa bisyai’ (tidak ada apa-apanya), tidak ditulis Haditsnya. 
 Ibnu Hajar mengutip perkataan beberapa ulama’ tentang Al Ahwash sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Mizi, selain itu ia juga menampilkan komentar Ibnu ‘Ammar yang mengatakan ia adalah shalih. Ibnu Hibban mengatakan tidak dianggap riwayatnya. Menurut As Saji, ia adalah dlo’if, ia mempunyai Hadits-hadits munkar. 

5. a. Hakiim bin ‘Umair
 Al Mizi mengutip beberapa pendapat para ulama’ tantang Hakim bin ’Umair (ayah Al Ahwash): menurut Abu Hatim, ia laba’sa bih. Menurut Muhammad bin’Auf, ia adalah shalih. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya Ats Tsiqaat. 
 Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Kasyif menilai Hakim bin ‘Umair sebagai rawi yang shaduq. 
 Komentar Ibnu Hajar sama dengan komentar Al Mizi. 
b. Rasyid bin Sa’ad  Al Mizi mengutip beberapa pendapat para ulama’ tentang Rasyid bin Sa’ad: Al Atsram mengatakan, dari Ahmad bahwa ia la ba’tsa bih. Ad Darami mengatakan dari Ibnu Ma’in: Tsiqat. Demikian juga Abu Hatim, Al ‘Ajli, Ya’qub bin Abi Syaibah dan An Nasa’i menilai Rasyid bin Sa’ad sebagai rawi yang tsiqat. Al Mufadlal Al Ghilabi menyatakan ia atsbatu ahli Syam. Ibnu Sa’ad mengatakan tsiqat. Ad Daruquthni menilai la ba’sa bih ketika ia tidak meriwayatkan dari rawi yang matruk. Ibnu Hibban menuturkannya dalam kitab Ats Tsiqaat. 
 Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Ma’in, Abu Hatim dn Ibnu Sa’ad mentsiqahkannya. Menurut Ahmad la ba’sa bih. Menurut Ad Daruquthni Haditsnya dianggap, la ba’sa bih. 
 Komentar Ibnu Hajar sama dengan komentar Al Mizi. 
c. ‘Abdul A’la bin ‘Addi  Al Mizi mengutip Abu ‘Ubaid Al Ajuri, dari Abu Dawud, ia berkata: Semua guru Hariz adalah tsiqat (‘Abdul A’la termasuk guru Hariz). Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya Ats Tsiqaat. 
 Adz Dzahabi berpendapat bahwa ‘Abdul A’la bin ‘Addi adalah tsiqat. 
 Komentar Ibnu Hajar sama dengan komentar Al Mizi. 

6. ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami
Al Mizi, Adz Dahabi dan Al Asqalani menyebutkan bahwa ‘Utbah adalah seorang shahabat. 

1. Ishaq bin Wahb Al Wasithi.
a. Dalam kitab Tahzib al-Kamal, Juz 2 hal.489, dikatakan, Abu Hatim mengatakan :صدوق 
b. Dalam kitab :Tahzib al-Tahzib, dikatakan, Abu Hatim mengatakan : صدوق . Ibnu Hibban menyebutkannya didalam perawi yang thiqah. 
Dari paparan data diatas, dapat disimpulkan bahwa Ishaq bin Wahb al-Wasiti adalah perawi yang berkualitas
2. Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani
3. Al Ahwash bin Hakiim
4. Hakiim bin ‘Umair
5. Rasyid bin Sa’ad
6. ‘Abdul A’la bin ‘Addi
7. Utbah bin ‘Abd As Sulami

F. Uji Persambungan Sanad

Penyajian dan analisis data persambungan sanad dapat disebutkan sebagai berikut:
1. (Ibnu Majah berkata:) حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهْبٍ الْوَاسِطِيُّ (Ishaq bin Wahb al Wasithi bercerita kepada kami), (Ishaq bin Wahb al Wasithi berkata:) حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْهَمْدَانِيُّ (Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani bercerita kepada kami), (Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani berkata:) حَدَّثَنَا الأَحْوَصُ بْنُ حَكِيمٍ(Al Ahwash bin Hakim bercerita kepada kami). Tiga ungkapan atau redaksi di atas digunakan oleh Muhadditsin untuk periwayatan Hadits dalam bentuk sima’ah, yaitu seorang syaikh membaca Hadits dan murid mendengarkannya, baik sang guru membaca dari hafalannya atau dari kitabnya, baik sang murid mendengar sekaligus mencatat apa yang ia dengar, atau hanya mendengarkan saja. Sima’ merupakan bentuk redaksi tahammul Hadits yang paling tinggi. Dengan demikian berarti ada pertemuan antara Ibnu Majah dengan gurunya Ishaq bin Wahb Al Wasithi, Ishaq bin Wahb al Wasithi dengan gurunya Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani, dan Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani dengan gurunya Al Ahwash bin Hakiim. Dengan demikian sanad Hadits di atas sampai di sini adalah muttasil (bersambung).

2. Al Ahwash bin Hakim berkata: عَنْ أَبِيهِ ، وَرَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ ، وَعَبْدِ الأَعْلَى بْنُ عَدِيٍّ. Ungkapan periwayatan Al Ahwash bin Hakim ini memang menggunakan redaksi ‘an (عن), tetapi ‘an’anahnya tidak mengindikasikan terputusnya sanad, bahkan dapat dinyatakan bahwa sanadnya adalah : muttasil, karena dalam biografinya disebutkan bahwa Al Ahwash bin Hakiim pernah berguru kepada Al Hakiim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad dan ‘Abdul A’la bin ‘Addi dan Al Ahwash bin Hakiim tercatat dalam jajaran murid Al Hakiim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad dan ‘Abdul A’la bin ‘Addi.

3. Al Hakiim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad dan ‘Abdul A’la bin ‘Addi berkata: عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ. Ungkapan periwayatan Al Hakim bin ‘Umair, Rasyid bin Sa’ad dan ‘Abdul A’la bin ‘Addi ini memang menggunakan redaksi ‘an (عن), tetapi ‘an’anahnya tidak mengindikasikan terputusnya sanad, bahkan dapat dinyatakan bahwa sanadnya adalah : muttasil, karena dalam biografi mereka bertiga disebutkan bahwa ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami adalah guru mereka dan dalam catatan biografi ‘Utbah bin ‘Abd As Sulami, mereka bertiga termasuk dalam jajaran murid-muridnya.
Dari beberapa paparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa sanad Hadits di atas adalah muttashil. 

G. Uji Syadz - Tidaknya Matan Hadits

Dalam menguji matan Hadits dari unsur syadz, penulis menampilkan beberapa analisa:

1. Membandingkan dengan firman Allah SWT:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ. [البقرة : 223]
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” [Q.S. Al Baqarah: 223].
Bersenggama dalam keadaan telanjang bulat merupakan sebuah keadaan dari bentuk keumuman firman Allah SWT “bagaimana saja kamu kehendaki”. Sehingga hal itu tidaklah dibenci oleh Al Qur’an atau bertentangan dengan As Sunnah. 

2. Membandingkan dengan firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. [المؤمنون : 5 ، 6]
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” [Q.S. Al Mu’minun: 5-6].
Menafsiri ayat ini, Al Imam Ibnu Hazm berkata: Allah SWT memerintahkan untuk menjaga farji, kecuali kepada istri dan budak yang dimiliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Ayat ini bersifat umum, sehingga seorang suami boleh melihat dan memegang aurat istrinya. 

3. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mandi bersama Sayyidah ‘A’isyah RA dengan menggunakan satu wadah. 
صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع - (1 / 176)
758 - وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ - بَيْنِى وَبَيْنَهُ - وَاحِدٍ فَيُبَادِرُنِى حَتَّى أَقُولَ دَعْ لِى دَعْ لِى. قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ.
“(Imam Muslim berkata:) Yahya bin Yahya telah bercerita keapada kami, (ia berkata:) Abu Khaitsamah telah mengabarkan kepada kami, dari ‘Ashim Al Ahwal, dari Mu’adzah, dari ‘A’isyah, beliau berkata: Aku mandi bersama Rasulullah SAW dengan satu wadah yang terletak di antaraku dan Rasulullah. Beliau mendahuluiku dalam mengambil air, sehingga aku berkata: Tinggalkanlah (air yang dapat menyempurnakan mandiku) untukku.” Mu’adzah berkata: Beliau berdua dalam keadaan junub. [H.R. Muslim]

Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shohihnya:
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (1 / 74)
261- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ ، أَخْبَرَنَا أَفْلَحُ ، عَنِ الْقَاسِمِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ.
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (1 / 74)
263- حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ.
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (1 / 76)
273 - وَقَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْرِفُ مِنْهُ جَمِيعًا. صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (1 / 82)
299- حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ مَنْصُورٍ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنِ الأَسْوَدِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلاَنَا جُنُبٌ.

Mengomentari Hadits di atas, Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: Imam Ad Dawudi berargurmen dengan Hadits ini atas kebolehan seorang laki-laki melihat aurat istrinya. Hal ini dikuatkan dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dari jalur Sulaiman bin Musa, bahwa ia ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat farji (kemaluan) istrinya, maka ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Atha’, (ia berkata:) Aku bertanya kepada ‘A’isyah, kemudian beliau (‘A’isyah) menyebutkan Hadits ini dengan maknanya. Hadits ini adalah penjelasan terhadap masalah ini. 

Rasulullah SAW melepaskan pakaiannya ketika mandi bersama Sayyidah ‘A’isyah sebagaimana keterangan di atas. Dengan demikian telanjangnya seorang istri dihadapan suami atau sebaliknya bukanlah merupakan perbuatan yang dibenci oleh As Sunnah. Seandainya telanjang di hadapan suami/istri secara esensi dibenci oleh syari’at, niscaya Nabi SAW dan Sayyidah ‘A’isyah tidak akan saling melepas pakaian ketika mandi bersama, dan niscaya Nabi SAW akan mandi sendiri dan Sayyidah ‘A’isyah akan mandi sendiri. 

4. Hadits yang mengisahkan pengaduan ‘Utsman bin Madh’un kepada Nabi SAW:
المعجم الكبير للطبراني - (7 / 419)
8239 - حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بن إِبْرَاهِيمَ الدَّبَرِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ يَحْيَى بن الْعَلاءِ، عَنِ ابْنِ أَنْعُمَ، أَنَّ سَعْدَ بن مَسْعُودٍ الْكِنْدِيَّ، قَالَ: أَتَى عُثْمَانُ بن مَظْعُونٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَسْتَحْيِي أَنْ يَرَى أَهْلِي عَوْرَتِي، قَالَ:"وَلِمَ؟ وَقَدْ جَعَلَكَ لَهُمْ لِبَاسًا وَجَعَلَهُمْ لَكَ لِبَاسًا".
(Ath Thabrani berkata:) Ishaq bin Ibrahim Ad Dabbari bercerita kepada kami, dari Abdurrrazzaq, dari Yahya bin Al ‘Ula’, dari Ibnu An’um, bahwa Sa’ad bin Mas’ud Al Kindi berkata: ‘Utsman bin Madh’un mendatangi Rasulullah SAW, kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku malu ketika keluargaku (istriku) melihat auratku. Lalu Rasulullah bersabda: “Kenapa? Allah telah menjadikanmu selimut bagi mereka, dan menjadikan mereka selimut bagimu.” [H.R. Ath Thabrani]. 

5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi dll:
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (4 / 72)
4019 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبِى ح وَحَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى نَحْوَهُ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِى مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ « احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ ».
تحفة الأحوذي - (7 / 78)
وَمَعْنَى قَوْلِهِ نَذَرُ : أَيْ نَتْرُكُ ، وَأَمَاتَ الْعَرَبُ مَاضِيَ يَذَرُ وَيَدَعُ إِلَّا مَا جَاءَ فِي قِرَاءَةٍ شَاذَّةٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : { مَا وَدَعَك } بِالتَّخْفِيفِ قَالَهُ الْعَيْنِيُّ ، وَالْمَعْنَى أَيُّ عَوْرَةٍ نَسْتُرُهَا وَأَيُّ عَوْرَةٍ نَتْرُكُ سَتْرَهَا
شرح سنن أبي داود ـ عبد المحسن العباد - (22 / 462)
(قلت: يا رسول الله! عوراتنا ما نأتي منها وما نذر؟) يعني: عمن نستر عوراتنا؟
(Abu Dawud berkata:) ‘Abdullah bin Maslamah bercerita kepada kami, (ia berkata:) Ayahku dan Ibnu Basyar bercerita kepada kami, (ia berkata:) Yahya telah bercerita kepada kami, dari Bahz bin Hakiim, dari Ayahnya, dari Kakeknya, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, aurat kami yang mana yang harus kami tutup dan tidak kami tutup? Rasulullah SAW bersabda: “Jagalah auratmu, kecuali dari istrimu atau budak yang engkau miliki.” [H.R. Abu Dawud dll.].

Imam At Tirmidzi menilai Hadits ini sebagai Hadits Hasan. Penilaian senada juga disampaikan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani. Syaikh Muhammad Syamsul Haq Al ‘Adhim Abadi ketika mengomentari Hadits ini berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa diperbolehkan bagi suami istri untuk saling melihat aurat yang satu dengan yang lainnya. 

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: Mafhum sabda Nabi “kecuali dari istrimu” menunjukkan bahwa seorang istri boleh melihat aurat suaminya, begitu juga sebaliknya. 
Imam Ibnu Hazm berkata: Halal bagi seorang laki-laki melihat farji perempuannya (istri dan budak perempuannya yang halal untuk dijima’), demikian juga boleh bagi istri dan budak perempuannya untuk melihat farji laki-laki tersebut, sama sekali dalam hal ini tidak ada kemakruhan. Dalilnya adalah beberapa khabar yang telah masyhur dari Sayyidah ‘A’isyah, Umi Salamah, Maimunah, bahwa mereka mandi jinabat bersama Rasulullah SAW dengan satu wadah. 

Dalam riwayat Sayyidah Maimunah terdapat penjelasan bahwa Rasulullah SAW dalam keadaan tidak memakai sarung, karena dalam riwayat itu disebutkan: Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam tempat air, kemudian menyiramkannya ke farjinya, lalu membasuhnya dengan tangan kirinya. Termasuk sesuatu yang sangat mengherankan ketika ada sebagian orang yang memperbolehkan manjima’ farji, namun melarang melihatnya. (Al Muhalla: 9/165) 

Syaikh Al Albani menambahkan: Ketika Allah SWT melegalkan bagi seorang suami menjima’ istrinya, lalu apakah masuk akal jika kemudian ia dilarang melihat farji istrinya?! Ya Allah, tidak!! (Silsilah Adl Dlo’ifah: 1/353).
 
Dari paparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Hadits yang memerintahakan seoarang laki-laki agar memakai penutup ketika bersenggama dengan istrinya mengandur unsur syadz, yaitu bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan juga bertentangan dengan Hadits-hadits lain dalam konteks yang sama yang derajatnya lebih tinggi.

H. Uji Berillat – Tidaknya Matan Hadits

Sejauh yang peneliti amati dan renungkan, Hadits tentang anjuran untuk memekai penutup (sarung) ketika bersenggama selain mengandung unsur syadz juga ternyata mengandung illat, yaitu bertentangan dengan akal sehat, yaitu ketika Allah SAW melegalkan bagi seorang suami menjima’ istrinya, lalu apakah masuk akal jika kemudian ia dilarang melihat farji istrinya?!

I. Paparan Jalur lain

مسند البزار 18 مجلد كاملا - (5 / 118)
1701- حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الأَهْوَازِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ.
وَهَذَا الْحَدِيثُ لاَ نَعْلَمُ رَوَاهُ عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ إِلاَّ مِنْدَلُ وَأَخْطَأَ فِيهِ ، وَذَكَرَ شَرِيكٌ أَنَّهُ كَانَ هُوَ وَمَنْدَلٌ عِنْدَ الأَعْمَشِ وَعِنْدَهُ عَاصِمُ الأَحْوَلُ فَحَدَّثَ عَاصِمٌ ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ، وَذَكَرَ الْحَدِيثَ مُرْسَلاً.
مسند البزار 18 مجلد كاملا - (15 / 215)
8628- حَدَّثنا عُمَر بن الخطاب السجستاني ، قَال : حَدَّثنا سَعِيد بن أبي مريم ، قَال : حَدَّثنا يحيى بن أيوب ، قَال : حَدَّثني ابن زَحْر ، يعني : عُبَيد الله بن زَحْر ، عَن أبي المنيب ، عَن يَحيى بن أبي كثير ، عَن أبي سَلَمَة ، عَن أبي هُرَيرة ، قال : قال رَسُول اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّم : إذا أتى أحدكم أهله فليستتر فإنه إذا لم يستتر استحيت الملائكة فخرجت وبقى الشيطان فإذا كان بينهما ولد كان للشيطان فيه نصيب.
وهذا الحديث لاَ نعلمُهُ يُرْوَى بهذا اللفظ عن النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّم إلاَّ بهذا الإسناد ، عَن أبي هُرَيرة عنه وإسناده ليس بالقوي.
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي - (7 / 193)
14475- أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرٍ : عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ قَتَادَةَ أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِىٍّ : حَامِدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّفَّاءُ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا مَنْدَلُ بْنُ عَلِىٍّ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ ». {ج} تَفَرَّدَ بِهِ مَنْدَلُ بْنُ عَلِىٍّ وَلَيْسَ بِالْقَوِىِّ. {ق} وَهُوَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَابِتًا فَمَحْمُودٌ فِى الأَخْلاَقِ. {ش} قَالَ الشَّافِعِىُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَأَكْرَهُ أَنْ يَطَأَهَا وَالأُخْرَى تَنْظُرُ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ التَّسَتُّرِ وَلاَ مَحْمُودِ الأَخْلاَقِ وَلاَ يُشْبِهُ الْعِشْرَةَ بِالْمَعْرُوفِ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يُعَاشِرَهَا بِالْمَعْرُوفِ.
المعجم الكبير للطبراني - (9 / 44)
10291 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مَالِكُ بن إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا مَنْدَلٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلا يَتَجَرَّدَانِ تَجَارُدَ الْعَيْرَيْنِ.
المعجم الكبير للطبراني - (12 / 59)
13762- حدثنا مُحَمَّدُ بن هِشَامٍ الْمُسْتَمْلِيُّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن حِبَّانَ الْمِصِّيصِيُّ، حَدَّثَنَا عِيسَى بن يُونُسَ. ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عُثْمَانَ بن أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عِمْرَانَ بن أَبِي لَيْلَى، عَنِ الأَحْوَصِ بن حَكِيمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن عَامِرٍ، عَنْ عُتْبَةَ بن عَبْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، فَلْيَسْتَتِرْ، وَلا يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرِ".
المعجم الكبير للطبراني - (19 / 108)
243 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن حَمَّادِ بن زُغْبَةَ، قَالَ: نا سَعِيدُ بن أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: نا ابْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بن زَحْرٍ، عَنْ أَبِي الْمُنِيبِ، عَنْ يَحْيَى بن أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يَسْتَتِرِ اسْتَحْيَتِ الْمَلائِكَةُ وَخَرَجَتْ، وَحَضَرَهُ الشَّيْطَانُ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ، كَانَ الشَّيْطَانُ فِيهِ شَرِيكٌ". لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ يَحْيَى بن أَبِي كَثِيرٍ، إِلا أَبُو الْمُنِيبِ الْجُرَشِيُّ، وَلا عَنْ أَبِي الْمُنِيبِ، إِلا عُبَيْدُ اللَّهِ بن زَحْرٍ، تَفَرَّدَ بِهِ: يَحْيَى بن أَيُّوبَ
شعب الإيمان - (10 / 215)
7404 - أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو إِسْحَاقَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَاتِمٍ -[216]- الزَّاهِدُ، نا السَّرِيُّ بْنُ خُزَيْمَةَ، نا أَبُو غَسَّانَ، نا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ الْعَنَزِيُّ، عَنِ -[217]- الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلَا يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ الْعِيرَيْنِ " تَفَرَّدَ بِهِ: مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ
مسند ابن أبي شيبة 235 - (1 / 172)
335- حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، عَنْ مِنْدَلٍ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعِيرَيْنِ.
مسند الشاشي 335 - (1 / 284)
582- حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ , حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانُ , حَدَّثَنَا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ , عَنِ الأَعْمَشِ , عَنْ أَبِي وَائِلٍ , عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ , وَلاَ يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ الْعِيْرَيْنِ.
مصنف عبد الرزاق - (6 / 194)
10469 - عبد الرزاق عن الثوري عن عاصم عن أبي قلابة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا أتى أحدكم أهله فليستتر ولا يتجردان تجرد العيرين

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya, Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro dan Syu’ab Al Iman, At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir Ibnu Abi Syaibah dalam Musnadnya, Asy Syasi dalam Musnadnya, dan ‘Abdurrazzaq dalam Mushanafnya. 

Al Bazzar yang mencantumkan Hadits itu dalam Musnadnya meragukan kalau ucapan seperti itu datang dari Rasulullah SAW, dan lagi sanad Hadits itu tidak kuat. Al Baihaqi juga mengkritik salah satu rawi Hadits itu yang bernama Mandal, ia adalah perawi yang lemah. Dalam dua riwayat Ath Thabrani juga terdapat rawi yang dlo’if yaitu Mandal dan Al Ahwash bin Hakiim. Ath Thabrani juga mengkritisi Hadits Riwayat Abu Hurairah. Ia mengatakan bahwa Yahya bin Abi Katsir tidak meriwayatkan Hadits ini. 

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Asy Syasyi juga terdapat Mandal. Sementara pada riwayat Abdurrazaq, Hadits tersebut terputus sanadnya. Abu Qilabah wafat pada tahun 104 H dan termasuk dalam kelompok wushtho min at tabi’in. Sehingga Hadits riwayat ‘Abdurrazzaq ini adalah mursal.

J. Penyimpulan Penelitian Hadits

Dari paparan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Hadits tersebut adalah munkar, karena Hadits tersebut bertentangan maknanya dengan Al Qur’an dan Hadits-hadits yang shohih. Hadits itu juga bertentangan dengan logika.

K. Fiqhul Hadits

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهْبٍ الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا الأَحْوَصُ بْنُ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، وَرَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ ، وَعَبْدِ الأَعْلَى بْنُ عَدِيٍّ ، عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ.

“(Ibnu Majah berkata:) Ishaq bin Wahb al Wasithi bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Ahwash bin Hakim bercerita kepada kami, dari ayahnya, Rasyid bin Sa’d dan Abdul A’la bin ‘Addi, dari ‘Uthbah bin ‘Abd As Sulami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menjima’ istrinya, maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti telanjangnya dua keledai.” [H.R. Ibnu Majah].

Hadits ini memerintahkan seseorang ketika bersenggama dengan istrinya agar memakai penutup (sarung). Jika kita perpegang pada kaidah amar (perintah) dalam ushul fiqh: -Kaidah umum dalam amr (perintah) adalah menunjukkan wajib, kecuali ada dalil yang mengarahkan kebalikannya-, maka kita akan mendapati bahwa anjuran memakai penutup ketika bersenggama hukumnya adalah wajib, apalagi perintah itu juga diikuti dengan larangan yang berupa celaan “janganlah telanjang seperti telanjangnya dua keledai.” Dalam kaidah ushul disebutkan: Kaidah umum dalam nahi (larangan) adalah haram, kecuali ada dalil yang mengarahkan sebaliknya.

Kesimpulan hukum yang dapat diambil dari Hadits di atas adalah: haram bagi seorang laki-laki ketika bersenggama dengan istrinya dalam keadaan telanjang.
Kesimpulan hukum semacam ini akan berlaku manakala didukung dengan dalil yang kuat. Namun sayang, berdasarkan paparan di atas, Hadits yang dijadikan landasan hukum semacam itu adalah Hadits yang lemah. Selain itu Hadits tersebut juga bertentangan dengan ayat Al Qur’an, Hadits-hadits yang shahih dan akal sehat. Sehingga Hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum, karena penetapan hukum harus berlandaskan pada Hadits-hadits yang shahih, atau minimal hasan.

Sebagian ulama kemudian mengarahkan Hadits ini dalam ranah makarimul akhlaq (akhlaq-akhlaq yang mulia). Artinya ketika pasangangan suami istri melakukan senggama dengan memakai penutup, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sopan dan mulia. 
Namun nampaknya pendapat semacam ini juga perlu untuk dikritisi. Artinya kesimpulan semacam ini muncul karena adanya anggapan bahwa bersenggama dalam keadaan telanjang bulat merupakan sesuatu yang dicela oleh syari’at. Padahal, sebagaimana yang penulis paparkan di muka, perbuatan itu sama sekali tidak bertentangan dengan syari’at. Bahkan cara bersenggama semacam itu bisa dikatakan dianjurkan, manakala suami dan istri akan mendapatkan kepuasan dan kebutuhan biologisnya dapat tersalurkan dengan baik. 

Perintah dalam Hadits untuk memakai tutup maknanya adalah agar Allah SWT tidak melihat keduanya, karena mereka berdua berada di balik sarung. Pendapat semacam ini adalah pendapat yang gugur. Bagaimana mungkin Allah SWT tidak melihat mereka berdua, padahal mereka berdua melakukan ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keduanya akan mendapatkan pahala manakala melakukannya dengan sempurna. Dan kesempurnaan bersenggama pada sebagian orang akan terwujud dengan cara seperti ini. 

L. Kesimpulan

1. Hadits tentang anjuran untuk memamaki penutup ketika bersenggama adalah dlo’if, bahkan munkar.
2. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk bersenggama dengan cara bertelanjang bulat.

Daftar Pustaka
Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Maktabah Abi Al Mu’athi, t.t. 
Al Mizi. Tahdzib Al Kamal, tahqiq: Basyar ‘Awad Ma’ruf. Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, 1980. 41 dan 
Adz Dzahabi. Siyar A’lam An Nubala’, tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dkk. Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, t.t.
Al Asqalani. Tahdzib At Tahdzib. T.t.
Adz Dzahabi. Mizan Al I’tidal, tahqiq: ‘Ali Muhammad mu’awwadl dan ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud, t.t.
Adz Dzahabi. Al Kasyif vol. I, (Jeddah: Mu’assasah ‘Ulum Al Qur’an, t.t.), 347.
At Thahan. Taysir Mushthalah Al Hadits. Beirut: Dar Al Fikr, t.t.
Munjid, Muhammad Sholih. Fatawa Al Islam Su’al wa Jawab. T.t.
Al Asqalani, Fath Al Bari. Beirut: Dar Al Ma’rifat, 1379. 
‘Atha, ‘Abdul Qadir Ahmad. Hadza Halal wa Hadza Haram. Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 2003.
At Tirmidzi. Sunan At Tirmidzi, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dll. Beirut: Dar Ihya’ At Turats, t.t..
Abadi, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Adhim. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Madinah: Al Maktabah As Salafiyah, 1968.
Al Bazzar. Musnad Al Bazzar, tahqiq: Mahfudh Ar Rahman Zainullah dan ‘Adil bin Sa’ad. Madinah: Maktabah Al ‘Ulum wa Al Hikam, 2009.
Al ‘Aini, Badruddin. Syarah Sunan Abi Dawud. Riyadh: Maktabah Ar Rusyd, 1999.
Al Baihaqi. Sunan Al Kubra. Haidar Abad: Majlis Dairah, 1344.
Ath Thabrani. Al Mu’jam Al Kabir. T.t
‘Abdurrazzaq. Mushannaf ‘Abdirrazzaq, tahqiq: Habiburrahman Al A’dhami. Beirut: Al Maktab Al Islami, 1403.
Syaibah, Ibnu Abi. Musnad Ibni Abi Syaibah. 1427.
Asy Syasyi. Musnad Asy Syasyi, tahqiq: Mahfudh Ar Rahman Zainullah. Madinah: Maktabah Al ‘Ulum wa Al Hikam, 1410.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan pesan atau komentar Anda. Saya pun akan berusaha membantu permasalahan Anda sebatas pengetahuan dan kemampuan saya.
Jika Anda menyukai tulisan di atas, Anda boleh membagikannya di media yang Anda sukai supaya semakin banyak orang-orang yang mendapatkan manfaatnya.
Jika Anda ingin lebih puas melakukan obrolan, silahkan ke menu Obrolan Rahasia. Terima kasih.