Tidak sedikit pasangan yang kurang
“akur” dalam urusan bercinta karena perbedaan pemahaman mereka mengenai
hukum-hukumnya dalam syariat Islam. Sementara sang suami menginginkan gaya
begini dan begitu, namun sang istri menolak melakukannya karena takut menyalahi
hukum Islam, atau sebaliknya. Ujung-ujungnya hal itu menjadi salah satu
penyebab ketidakpuasan salah satu diantara pasangan tersebut. Dalam tulisan
kali ini, saya mencoba mengkaji dan mempelajari dari sumber-sumber hukum Islam
yang jelas, yaitu Qur’an dan Hadits Rasulullah, untuk mengetahui seberapa jauh
Islam memberikan toleransi dalam kaitannya dengan hubungan seks.
Penjelasan saya ini mungkin saja
berbeda dengan pemahaman Anda, dan sejauh yang saya ketahui, para ulama pun
masing-masing memberikan hasil pemikirannya dalam bentuk ijtihad yang berbeda-beda. Namun bagaimanapun, pendapat yang
berbeda-beda ini tetap harus mengacu pada Qur’an dan Hadits, sehingga jika ada
hal yang sifatnya bertentangan dengan kedua sumber hukum Islam tadi, maka ijtihad tersebut menjadi batal dengan
sendirinya.
Sebagaimana yang kita ketahui, di
dunia ini ada berbagai macam jenis variasi seks dan berbagai macam gaya atau posisi
hubungan seks yang dilakukan dalam rangka mencari kepuasan diri sendiri maupun untuk
memberikan kepuasan seksual pada pasangan, sehingga hubungan seks tak lagi dilakukan
secara monoton atau membosankan. Namun apakah dari sekian banyak jenis variasi
seks tersebut termasuk dalam hal yang diharamkan dalam hukum Islam ? Mari kita
perhatikan beberapa ayat Qur’an dan hadits Rasul berikut:
Larangan melakukan hubungan seks di luar
pernikahan (zina).
“Dan janganlah
kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’ ayat 32)
“Dan (diharamkan
juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (Q.S. An-Nisaa’ ayat 24)
Dalil di atas menyatakan bahwa semua hubungan seks yang dilakukan tanpa
ikatan pernikahan (zina) adalah haram hukumnya. Variasi atau gaya seks apapun dinyatakan haram jika dilakukan tanpa
pernikahan.
Dalam hal ini terdapat beberapa orang yang tak boleh dinikahi, yaitu:
Istri dan mantan istri ayah kandung, ibu kandung, anak kandung dan anak
tiri, saudara kandung, saudara kandung ayah dan saudara kandung ibu (uwak,
tante, bibi), keponakan, orang yang menyusui, orang yang menyusu pada wanita
yang sama, mertua, menantu, dan ipar. Yang berarti pula larangan melakukan incest.
"Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan seburuk-burunya jalan (yang
ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui
kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu dari pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri istri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Q.S. An-Nisaa ayat 22-23)
Larangan hubungan seks yang bersifat menyakiti dan membahayakan,
termasuk menularkan penyakit atau menyakiti secara psikis.
"Dan istri-istri yang kalian
khawatirkan nusyuz mereka, hendaklah kalian menasehati mereka atau pisahkan
mereka dari tempat tidur, atau pukullah mereka. Dan jika mereka sudah kembali
taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti)
mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (Q.S. An-Nisaa’
ayat 34)
Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah
saw. bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah S.W.T. dan hari akhir,
hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Jagalah pesanku tentang kaum
perempuan agar mereka diperlakukan dengan baik. Sebab mereka diciptakan dari
tulang rusuk yang bengkok. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling
atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, tulang itu akan patah. Jika engkau
membiarkannya, tulang itu tetap bengkok. Oleh karena itu jagalah pesanku
tentang kaum perempuan agar mereka diperlakukan dengan baik.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Dari Ayyas bin 'Abdullah bin Abu
Dzubab: Rasulullah Saw. bersabda, "Jangan memukul hamba (perempuan) Allah
SWT." Kemudian Umar bin Khathab mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata,
"Kadang-kadang kaum perempuan berbuat durhaka kepada suami mereka”. Umar
meminta keringanan agar dibolehkan memukul mereka. Namun sejumlah perempuan
mendatangi istri-istri Nabi saw. dan mengadukan perlakuan suami mereka. Oleh
karena itu, Rasulullah saw. bersabda, "Banyak perempuan menemui
istri-istri Muhammad untuk mengadukan perlakuan suami mereka. Suami-suami
seperti itu bukanlah orang-orang terbaik." (H.R. Abu Dawud)
Dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin
Sinan al-Khudri radhyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
(H.R. al-Malik, al-Baihaqi, al-Hakim)
“Barangsiapa membahayakan orang lain,
maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau
menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.” (H.R. al-Hakim dan
al-Baihaqi)
Dalil di atas menegaskan bahwa variasi atau gaya seks apapun
dilarang dilakukan selama bersifat menyakiti dan membahayakan, yang berarti
termasuk di dalamnya adalah:
1. Hubungan seks yang mengakibatkan
munculnya penyakit atau menularkan penyakit dalam bentuk apapun, misalnya penis
atau vagina dalam keadaan kotor, seks anal, seks saat haid, penyakit kelamin,
dan lain sebagainya.
2. Hubungan seks yang bersifat memaksa
dan menyakiti, baik secara fisik maupun psikis. Misalnya: menggunakan cambuk
atau penyiksaan, BDSM (Bondage and
Discipline, Sadism and Masochism), gangbang, deep throath, termasuk threesome jika mengakibatkan perasaan salah
satu atau semua istri tersakiti.
Larangan dilakukannya anal seks.
“Terlaknatlah siapa saja yang
mendatangi perempuan di duburnya” (H.R. Abu Daud dan An Nasa’i)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Allah tidak akan
melihat kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan di duburnya.”
(H.R. At Tirmidzi dan An Nasa’i)
Larangan dilakukannya hubungan sejenis atau homoseks dan lesbian.
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki
diantara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S.
Asy-Syu’ara ayat 165-166)
“Allah melaknat siapa yang berbuat
dengan perbuatannya kaum Luth“.
Beliau katakan tiga kali. (H.R. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa-siapa yang kamu dapati
dia mengerjakan perbuatan kaum Luth (laki-laki bersetubuh dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan), maka bunuhlah yang berbuat (homoseks) dan yang
dibuati (pasangan berbuat homoseks itu). (H.R. Ahmad)
Larangan bersetubuh dengan wanita yang sedang
haid.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:
"Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S.
Al-Baqarah ayat 222)
"Lakukanlah segala sesuatu terhadap wanita haid kecuali
menyetubuhinya" (H.R. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Abu Daud)
Larangan berhubungan seks tanpa pendahuluan (foreplay)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassallam bersabda, “Siapapun diantara
kamu, janganlah menyamai istrinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi
hendaklah ia didahului dengan perantaraan.” Selanjutnya salah seorang bertanya,
“Apakah perantaraan itu ?” Rasulullah menjawab, “Yaitu ciuman dan ucapan-ucapan
romantis.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya
seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni
ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi)
Larangan melakukan poliandri dan gangbang.
“Dan (diharamkan
juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (Q.S. An-Nisaa’ ayat 24)
“Pernikahan
di masa Jahiliyah ada empat cara …(beliau lalu menyebutkannya)… jenis
pernikahan yang lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang
dari 10 berkumpul lalu masuk menemui seorang wanita. Setiap mereka
menyetubuhinya.” (H.R. Bukhari)
Larangan melihat aurat orang lain (orang yang bukan suaminya atau
istrinya)
Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya” (Q.S. An-Nuur ayat 30-31)
"Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki
lain, dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan
tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu
pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu
pakaian." (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi)
Larangan ini berlaku pula untuk threesome,
ketika istri yang satu bisa melihat aurat istri yang lain.
Larangan berhubungan seks dengan hewan.
Dan barangsiapa kamu dapati dia menyetubuhi binatang maka
bunuhlah dia dan bunuhlah binatang itu. (H.R. Ahmad)
Larangan mendekati wanita yang bukan muhrim,
termasuk ipar.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Hindarkanlah diri kalian untuk menemui wanita !” Lalu
ada seorang lelaki dari kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu
tentang saudara ipar?” Beliau bersabda, “Saudara ipar adalah (pembawa)
kematian.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan At-Tirmidzi)
Larangan menceritakan hubungan seks kepada
orang lain.
Dari Abu Hurairah
radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melakukan shalat, dan ketika beliau telah mengucapkan
salam maka beliau menghadapkan mukanya kepada mereka (jama’ah) dan bersabda,
berhati-hatilah terhadap majelis-majelis kaum. Apakah di antara kamu ada
seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya dengan menutup pintu dan melabuhkan
tirainya, kemudian dia keluar dan bercerita, "saya telah berbuat dengan
istriku begini dan begini? Kemudian mereka diam semua. Lantas Rasulullah
menghadap kepada para perempuan dan menanyakan, "Adakah di antara kamu
yang bercerita begitu? Tiba-tiba ada seorang gadis memukul-mukul salah satu
tulang lututnya sampai lama sekali supaya diperhatikan oleh Nabi dan supaya dia
mendengarkan omongannya. Kemudian gadis itu berkata, "Demi Allah! Kaum
laki-laki bercerita dan kaum perempuan juga bercerita! Lantas Nabi bertanya,
"Tahukah kamu seperti apa yang mereka lakukan itu? Sesungguhnya orang yang
berbuat demikian tak ubahnya dengan syaithan laki-laki dan syaithan perempuan
yang satu sama lain bertemu di jalan kemudian melakukan persetubuhan, sedang
orang lain banyak yang melihatnya." (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
"Sesungguhnya di antara manusia yang paling jelek
kedudukannya dalam pandangan Allah nanti di hari kiamat adalah seorang
laki-laki yang menyetubuhi istrinya dan istrinya pun melakukan persetubuhan,
kemudian dia menyebarluaskan rahasianya." (H.R. Muslim)
Dalam hal ini berarti dilarang pula menyebarluaskan video atau film yang dilakukan pasangan suami istri melalui media sosial atau internet, seperti yang belakangan marak terjadi, atau memperlihatkan hasil rekamannya pada orang lain.
Dari sebagian larangan-larangan tersebut, ada pula larangan lain yang diragukan kebenarannya atau bersifat lemah pendapatnya, diantaranya adalah:
1. Larangan melihat aurat istri dan larangan melakukan hubungan seks tanpa kain penutup
Adapun yang menjadi dasar larangan tersebut adalah hadits berikut:
Ishaq bin Wahb Al Wasithi bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Ahwash bin Hakim bercerita kepada kami, dari ayahnya, Rasyid bin Sa’d dan Abdul A’la bin ‘Addi, dari ‘Uthbah bin ‘Abd As Sulami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menjima’ istrinya, maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti telanjangnya dua himar (keledai).” (H.R. Ibnu Majah)
Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albany, hadits ini dha'if karena dalam hadits tersebut ada seorang perawi yang bernama al-Ahwash bin Hakim dan dia itu orangnya dhaif atau lemah. Demikian juga dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama al-Walid bin al-Qasim al-Hamdany yang dilemahkan oleh Ibn Mu'in dan yang lainnya. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Siti Aisyah berkata, "Saya tidak pernah melihat sekalipun aurat Rasulullah saw" (H.R. Thabrani)
Dalam hal ini berarti dilarang pula menyebarluaskan video atau film yang dilakukan pasangan suami istri melalui media sosial atau internet, seperti yang belakangan marak terjadi, atau memperlihatkan hasil rekamannya pada orang lain.
Dari sebagian larangan-larangan tersebut, ada pula larangan lain yang diragukan kebenarannya atau bersifat lemah pendapatnya, diantaranya adalah:
1. Larangan melihat aurat istri dan larangan melakukan hubungan seks tanpa kain penutup
Adapun yang menjadi dasar larangan tersebut adalah hadits berikut:
Ishaq bin Wahb Al Wasithi bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani bercerita kepada kami, (ia berkata:) Al Ahwash bin Hakim bercerita kepada kami, dari ayahnya, Rasyid bin Sa’d dan Abdul A’la bin ‘Addi, dari ‘Uthbah bin ‘Abd As Sulami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menjima’ istrinya, maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti telanjangnya dua himar (keledai).” (H.R. Ibnu Majah)
Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albany, hadits ini dha'if karena dalam hadits tersebut ada seorang perawi yang bernama al-Ahwash bin Hakim dan dia itu orangnya dhaif atau lemah. Demikian juga dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama al-Walid bin al-Qasim al-Hamdany yang dilemahkan oleh Ibn Mu'in dan yang lainnya. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Siti Aisyah berkata, "Saya tidak pernah melihat sekalipun aurat Rasulullah saw" (H.R. Thabrani)
Hadits ini dinilai oleh Ibn Hajr al-Asqalany sebagai hadits dhaif (lemah), karena dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Halaby, bahwasanya ia seorang pembohong. Demikian juga dengan rawi-rawi lainnya seperti Abu Shalih Bazim dan Muhammad bin al-Qasim al- Asady bahwa keduanya tukang bohong.
Penjelasan lebih lengkap tentang pengkajian hadits tersebut silahkan klik di sini
Rasulullah s.a.w
bersabda, "Apabila seorang laki-laki menggauli isterinya, maka janganlah
melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan buta (keturunannya)".
Hadits ini adalah hadits maudhu' (hadits
dibuat-buat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Jauzi dan Abu Hatim
ar-Razi.Adapun dasar hukum yang jelas dan dalil yang sifatnya shahih menyebutkan diperbolehkan melihat aurat suami dan istri, adalah sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S. Al Ma’arij ayat 29-30)
Dari Mu’adzah, ‘Aisyah berkata, “Aku mandi bersama Rasulullah SAW dengan satu wadah yang terletak di antaraku dan Rasulullah. Beliau mendahuluiku dalam mengambil air, sehingga aku berkata, “Tinggalkanlah (air yang dapat menyempurnakan mandiku) untukku.” Mu’adzah berkata, “Beliau berdua dalam keadaan junub.” (H.R. Muslim)
Dari Muawiyah bin Haidah berkata, ”Aku berkata, "Wahai Rasulullah. Apa yang dibolehkan dan dilarang dari aurat kami ?" Beliau menjawab, ”Jagalah auratmu kecuali terhadap istri atau budakmu.” (H.R. Abu Daud)
Dari Utsman bin Madh'un ketika mengadu kepada Rasulullah saw mengenai rasa malunya ketika melihat aurat isterinya, Rasulullah s.a.w. menjawab, "Bagaimana tidak, bukankah Allah telah menjadikan isterimu itu sebagai pakaian dan kamu sebagai pakaiannya juga ?" Utsman menjawab, "Saya justru malu dengan hal itu." Rasulullah saw menjawab, "Saya juga melakukannya dan mereka isteri-isteri saya pun melakukannya juga." (H.R. Thabarani)
2. Larangan mengeluarkan cairan sperma di luar vagina ('azl)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Adapun hujjah yang digunakan sebagai larangan 'azl adalah:
Katakanlah: "Marilah kubacakan
apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Q.S. Al 'An'am ayat 151)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S. Al Israa' ayat 31)
Para ulama yang memperbolehkan 'azl berpendapat bahwa ayat di atas merupakan larangan membunuh atau menghilangkan sesuatu yang sudah ada dan keturunannya, bukan mencegah cikal bakal keturunan.
Adapun hadits berikut:
Para sahabat pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ‘azl. Beliau
bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi” (H.R. Muslim)
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama telah mengkritik, karena
haditsnya itu tidak tegas berisi pelarangan. Penyebutan ‘azl sebagai pembunuhan
tersembunyi / terselubung dalam hal penyerupaannya, tidaklah selalu berkorelasi
dengan satu keharaman." (Fathul Bari, 9: 309)
Ibnul-Qayyim berkata, “Adapun penamaan ‘azl
dengan pembunuhan tersembunyi/ terselubung karena seorang laki-laki yang
melakukan ‘azl terhadap istrinya hanyalah berkeinginan agar terhindar dari
kelahiran anak. Maka tujuan, niat, keinginannya itu seperti orang yang tidak
menginginkan anak dengan cara menguburnya hidup-hidup. Akan tetapi
perbedaannya, orang yang mengubur anak hidup-hidup tadi dilakukan dengan
perbuatan dan niat sekaligus; sedangkan pembunuhan tersembunyi/ terselubung ini
(yaitu ‘azl) hanyalah sekedar berkeinginan dan berniat saja. Dan niat inilah
yang tersembunyi/ terselubung." (Hasyiyah Ibnil Qoyyim, 6: 151)
Para ulama yang berpendapat diperbolehkannya 'azl merujuk pada hadits berikut:
Dari Jabir radhiyallahu anhu berkata, “Bahwa ada seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata;
sesungguhnya aku mempunyai budak perempuan, dia sebagai pembantu dan pemberiku
minum, dan aku ingin menggauli dia, akan tetapi aku benci kalau dia hamil,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Lakukanlah ’azl jika kamu
menghendakinya, maka Allah Azza wa Jalla akan mentakdirkan bagi si budak perempuanmu
(hamil atau tidaknya).” (H.R.Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak diwajibkan atasmu untuk meninggalkannya (‘azl),
(karena) tidak ada makhluk yang bernyawa yang (diinginkan Allah Azza wa Jalla)
keberadaannya di muka bumi ini sampai hari kiamat, kecuali dia akan ada." (H.R. Bukhari)
Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Kami
dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Qur’an turun ketika itu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Kami dahulu melakukan ‘azl di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampai ke telinga beliau, namun
beliau tidak melarangnya.” (H.R. Muslim)
Dari beberapa keterangan di atas, maka diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Diharamkan membunuh anak yang sudah lahir maupun yang masih berada dalam rahim.
2. Allah menjamin rezeki anak dan orang tuanya, karena itu tidak perlu takut miskin karena kelahiran anak.
3. 'Azl atau mengeluarkan cairan sperma di luar vagina diperbolehkan.
Bersambung ke Variasi Gaya dan Hukum Islam (Bagian II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan pesan atau komentar Anda. Saya pun akan berusaha membantu permasalahan Anda sebatas pengetahuan dan kemampuan saya.
Jika Anda menyukai tulisan di atas, Anda boleh membagikannya di media yang Anda sukai supaya semakin banyak orang-orang yang mendapatkan manfaatnya.
Jika Anda ingin lebih puas melakukan obrolan, silahkan ke menu Obrolan Rahasia. Terima kasih.